Menutup aurat merupakan kewajiban bagi setiap
muslim, baik itu laki-laki maupun wanita. Para ulama madzhab Syafi’i
berpendapat bahwa aurat bagi kaum pria adalah yang diantara pusar dan lututnya.
Sedangkan bagi wanita, seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Secara umum, mengenakan segala jenis pakaian
(kecuali dari bahan-bahan yang diharamkan) adalah diperbolehkan selama ia
menutup aurat. Namun, mengenakan pakaian-pakaian yang dipakai atau disukai oleh
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam ternyata memiliki keutamaan
tersendiri dibanding pakaian biasa.
Akan tetapi, sebagian kecil ulama berpendapat bahwa
mengenakan pakaian yang digunakan oleh Nabi semata-mata merupakan budaya dari
bangsa Arab. Sehingga dari pendapat ini, gamis, misalnya, bukanlah termasuk
sunnah.
Terlepas dari pendapat tersebut, mayoritas ulama
tetap berpendapat, apabila seseorang mengenakan pakaian ‘sunnah’ tersebut
dengan dasar kecintaannya kepada Nabi, maka ia tetap mendapat pahala atas
cintanya tersebut.
Pada kesempatan kali ini, mari kita bahas sedikit
bagaimana sunnah-sunnah Rasulullah dalam berpakaian sehari-hari.
Peci dan ‘Imamah
Pada pembahasan dalam sunnah berpakaian ini, kita
mulai dari bagian kepala, bagaimana Rasulullah dan para sahabat.
“Dahulu (pada hari-hari di musim panas), kaum itu
(Rasul dan para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua
tangannya pada lengan bajunya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab
As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150)]
Rasulullah mengenakan imamah/sorban yang dililit di
kepala. Hal ini berdasarkan riwayat dari sahabat ‘Amr bin Harits -semoga Allah
meridhoinya- pernah menyatakan:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خطب الناسَ
وعليه عمامةٌ سوداءُ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah
berkhutbah di hadapan orang-orang dengan memakai sorban hitam di kepalanya”
(HR. Muslim 1359)
Gamis dan Jubah
Rasulullah sangat suka mengenakan gamis. Dikatakan,
beliau suka mengenakan gamis karena ia lebih menutup sekujur tubuh.
Dari Ummu Salamah -semoga Allah meridhoinya-, ia
berkata,
كَانَ أَحَبَّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- الْقَمِيصُ
“Pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah gamis.” (HR. Tirmidzi no. 1762)
KH Mushthofa Bisri menafsirkan hadits tentang
pakaian yang paling disuka oleh Nabi ini dengan pakaian daerah masing-masing
(yang menutup aurat, semisal batik). Sehingga, apabila kita mengenakan batik
dengan niat mengikut Nabi (yang mencintai pakaian daerahnya, yaitu gamis), maka
ia akan mendapat pahala.
Selain gamis, Nabi juga suka mengenakan pakaian
luaran (jubah). Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang hal ini, namun
kita ambil satu saja.
Dari Abu Rimtsah Rifaah At-Taymiy -semoga Allah
meridhoinya-: “Saya pernah melihat Rasulullah memakai dua baju yang hijau”. (HR
Tirmidzi dan Abu Daud)
“Dua baju” yang dimaksud pada hadits ini adalah baju
dalam (gamis) serta baju luar (jubah). Contohnya bisa lihat pada gambar di
bawah.
Sarung
Sarung (izaar) telah ada dan banyak digunakan
semenjak zaman Nabi. Pada dasarnya, sarung yang ada pada zaman tersebut kurang
lebih sama dengan apa yang ada di zaman sekarang.
Hanya saja, pada zaman jahiliyyah, sebagian orang
sengaja memanjangkan kain sarung atau gamisnya hingga melebihi mata kaki untuk
menunjukkan bahwa mereka adalah orang mampu alias ingin menyombongkan dirinya.
Sehingga, Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam
kemudian melarang untuk memanjangkan kain sarung/gamis melebihi mata kaki.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar -semoga Allah
meridhoi keduanya-, ia berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
‘Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong
maka Allah tidak akan melihatnya di hari Kiamat kelak.’”
Dari Abu Hurairah -semoga ALlah meridhoinya- dari
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Kain sarung yang berada di bawah mata kaki
tempatnya di Neraka.”
Ulama menyimpulkan dari hadits ini, bahwasannya
haram hukumnya memanjangkan kain celana/sarung/gamis melebihi mata kaki dengan
bermaksud sombong. Adapun apabila tidak ada maksud sombong, maka ulama berbeda
pendapat, sebagian berpendapat makruh, sedangkan yang lainnya berpendapat
mubah.
No comments:
Post a Comment